Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) menolak Permenakertrans No 13
Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak (KHL). Pasalnya, dalam regulasi tersebut hanya ada 14
komponen baru yang ditambah sehingga jumlah KHL menjadi 60 komponen.
Organisasi aliansi serikat pekerja yang terdiri dari tiga konfederasi
dan sembilan federasi serikat pekerja itu melihat Permenakertrans KHL
sebagai salah satu indikasi pemerintah mempertahankan politik upah
murah.
Pada kesempatan yang sama Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (KSBSI), Mudhofir, mengatakan Permenakertrans KHL menunjukkan
pemerintah lalai menyejahterakan kaum pekerja. Hal serupa menurut
Mudhofir juga terjadi dalam hal pelaksanaan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Mudhofir menjelaskan, sistem outsourcing sudah digunakan oleh mayoritas perusahaan yang ada di Indonesia.
Ironisnya, penggunaan outsourcing itu kebanyakan tidak mematui peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan yang berlaku. Misalnya mempekerjakan pekerja outsourcing
di jenis pekerjaan utama. Dari berbagai bentuk pelanggaran yang ada di
lapangan, Mudhofir tidak melihat keaktifan pemerintah untuk melakukan
pengawasan dan penjatuhan sanksi tegas bagi pengusaha yang melanggar
hukum. Menurutnya, pemerintah harus mencabut izin perusahaan outsourcing yang melanggar aturan.
“Atas lemahnya sikap pemerintah, maka kami (MPBI) akan melakukan mogok nasional,” Mudhofir menegaskan.
Sementara, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said
Iqbal, mengatakan MPBI akan menggelar aksi mogok kerja nasional yang
diikuti oleh satu juta pekerja. Aksi itu rencananya akan digelar di 14
kabupaten/kota yaitu Medan, Makasar, Samarinda, Mojokerto, Bekasi,
Tangerang dan lainnya. Mogok kerja nasional akan dilaksanakan jika
pemerintah sampai pertengahan September nanti tidak memenuhi tuntutan
MPBI yaitu moratorium outsourcing.
Iqbal menyebut gerakan yang dilakukan MPBI dinamakan Hapuskan Outsourcing
dan Upah Murah (Hostum). Gerakan ini sudah dibergulir di beberapa pusat
industri, salah satunya Bekasi, dimana 300 ribu pekerja sudah melakukan
aksi mogok kerja.
Selain itu Iqbal mengingatkan, pasca aksi demonstrasi Hostum pada
pertengahan Juli lalu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Menakertrans) menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada Gubernur di seluruh
Indonesia. Surat tersebut pada intinya menegaskan agar Gubernur
melakukan pendataan terhadap penggunaan tenaga outsourcing yang
ada di daerahnya masing-masing. Menurut Iqbal data itulah yang nantinya
dijadikan salah satu acuan bagi pemerintah untuk memberlakukan
moratorium penggunaan tenaga kerja outsourcing.
Pemerintah, Iqbal melanjutkan, harus memberlakukan moratorium itu
selama setahun yaitu terhitung sejak September 2012. Kemudian, pekerja outsourcing yang ada harus dikontrak langsung dengan pemberi kerja/pengguna jasa, bukan lewat agen/oursourcing. Dalam kurun waktu moratorium itu, pemerintah harus merancang Permenakertrans dengan tema Pelarangan Penggunaan Outsourcing.
Iqbal berharap dengan diterbitkannya peraturan baru itu maka tidak muncul multi tafsir soal penggunaan outsourcing.
Jika peraturan baru itu sudah diterbitkan, Iqbal berpendapat
Kepmenakertrans No.101/2004 dan No.220/2004 tentang izin perusahaan outsourcing, harus dicabut karena posisinya sudah digantikan.
Terkait dengan KHL, sebagaimana berita sebelumnya,
Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari Kemenakertrans, Myra
Hanartani, mengatakan pemerintah sudah melakukan upaya maksimal dalam
menerbitkan peraturan soal KHL. Sementara kewenangan untuk menambah
jumlah komponen yang termaktub dalam KHL menurutnya adalah kewenangan
Menakertrans. “Itu kewenangan Menteri untuk menambah komponen KHL,” kata
dia.
Masalah THR
Sejalan dengan persiapan menuju aksi mogok nasional, Iqbal menegaskan MPBI membuka posko pengaduan tunjangan hari raya (THR) di semua wilayah cabang anggota MPBI seperti kantor cabang SPSI, KSPI, SBSI dan lainnya. Walau pemerintah telah membuka posko sejenis, tapi Iqbal melihat posko yang dibangun pemerintah tidak dapat menyelesaikan pengaduan pekerja yang tidak mendapat THR.
Sejalan dengan persiapan menuju aksi mogok nasional, Iqbal menegaskan MPBI membuka posko pengaduan tunjangan hari raya (THR) di semua wilayah cabang anggota MPBI seperti kantor cabang SPSI, KSPI, SBSI dan lainnya. Walau pemerintah telah membuka posko sejenis, tapi Iqbal melihat posko yang dibangun pemerintah tidak dapat menyelesaikan pengaduan pekerja yang tidak mendapat THR.
Untuk menutupi kelemahan akibat absennya sanksi, maka Iqbal menekankan
posko pengaduan THR yang dibangun MPBI akan melakukan advokasi kepada
pekerja yang telah memenuhi syarat namun tidak mendapat THR. Iqbal
mencontohkan, modus yang selama ini digunakan perusahaan outsourcing
di lapangan adalah memutus hubungan kerja (PHK) pekerjanya tujuh hari
sebelum hari raya Idul Fitri. Si pekerja tidak boleh mengadukan PHK itu
ke pihak terkait, jika mengadu maka si pekerja terancam tidak akan
dikontrak kembali oleh perusahaan outsourcing yang bersangkutan.
Merujuk adanya modus seperti itu, Iqbal khawatir ada jutaan buruh yang
terancam tidak mendapat THR. Pasalnya, dari hasil penelitian MPBI dalam
sektor industri padat modal, sebanyak 47% pekerjanya terdiri dari
pekerja outsourcing dan kontrak. Sedangkan sektor industri padat karya, sebanyak 80 persen pekerjanya adalah outsourcing dan kontrak. “Ada lebih dari 15 juta pekerja/buruh yang terancam tidak mendapat THR,” ungkapnya.
Oleh karenanya, dalam melakukan advokasi terkait THR, Iqbal menyebut
anggota MPBI akan menyambangi perusahaan yang tidak membayar THR. Selain
itu Iqbal berharap ke depan, THR berlandaskan peraturan setingkat
Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Agar ada sanksi yang dapat
dimasukan ke dalam peraturan tersebut, sehingga menimbulkan efek jera
kepada pengusaha yang tidak membayar THR. sumber: hukumonline
Maaf - saya mau tanya, tanggal 3 oktober, demo buruh beberapa waktu lalu menuntut agar sistem outsourcing diberhentikan, apakah menurut Anda keputusan itu akan mengakibatkan terganggunya bisnis penempatan tenaga kerja?
BalasHapus