Serikat Karyawan Taspen "Mengawal Perusahaan, Mengayomi Karyawan"

Minggu, 05 Juni 2011

Status WTP Tak Jamin Bebas Korupsi


Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan bahwa pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) bukan jaminan suatu instansi bebas dari masalah korupsi. Hal ini dikatakan Anggota III BPK Hasan Bisri dalam jumpa pers, Selasa (31/5), di DPR.

Bagi Kementerian atau Lembaga (K/L) yang mendapat opini WTP dari BPK jangan besar kepala terlebih dahulu. Soalnya, hal itu tidak menjadi jaminan instansi tersebut bebas dari korupsi. “Opini WTP bukan jaminan tidak ada dugaan korupsi,” ujar Hasan.
Menurutnya, jika dalam pemeriksaan laporan keuangan ditemukan pelanggaran material dan berpengaruh pada akun-akun keuangan maka akan berpengaruh pada opini yang dikeluarkan BPK. “Jadi pelanggaran itu bisa berpengaruh pada penilaian BPK, tergantung pada pelanggaran langsung dan material atau tidak,” katanya.
Hasan menjelaskan, setidaknya, ada empat kriteria BPK dalam menentukan opini terhadap laporan keuangan. Pertama, apakah laporan keuangan tersebut sudah memenuhi standar pemeriksaan keuangan negara. Kedua, apakah pengendalian internal sudah cukup handal. Ketiga, apakah sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Keempat, apakah telah memenuhi kecukupan pengungkapan.
Seperti diketahui, secara umum BPK memberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) di tahun 2010. Artinya, LKPP telah mendapatkan opini WDP selama dua tahun berturut-turut setelah sebelumnya BPK memberikan penilaian tidak memberikan opini (disclaimer).
Ketua BPK Hadi Poernomo mengatakan LKPP tahun 2010 meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dalam Laporan Realisasi Anggaran Tahun 2010, Pemerintah melaporkan realisasi pendapatan sebesar Rp995,27 triliun dan realisasi belanja sebesar Rp1.042 triliun. Realisasi Pendapatan Negara tahun 2010 tersebut mencapai 100,29 persen dari anggaran sebesar Rp992,4 triliun atau sebesar 117,26 persen dari pendapatan tahun 2009 sebesar Rp848,76 triliun.
Jenis pendapatan yang mengalami kenaikan paling tinggi dalam tahun 2010 adalah penerimaan perpajakan sebesar Rp103,38 triliun atau naik 16,68 persen dibanding tahun 2009. Realisasi penerimaan perpajakan tahun 2010 adalah sebesar Rp723,31 triliun atau mencapai 97,31 persen dari anggaran sebesar Rp743,33 triliun.
Belanja negara tahun 2010, lanjut Hadi, meliputi belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah yang seluruhnya berjumlah Rp1.042,12 triliun atau 92,54 persen dari anggaran sebesar Rp1.126,15 triliun. Belanja negara juga mengalami kenaikan sebesar Rp104,74 triliun jika dibandingkan belanja negara tahun 2009 sebesar Rp937,38 triliun. Kenaikan pendapatan negara jauh lebih besar dibanding kenaikan belanja negara.
“Kenaikan pendapatan yang lebih besar dibanding kenaikan belanja tersebut telah menekan defisit sehingga semakin kecil,” kata Hadi.
Defisit anggaran tahun 2010 mencapai sebesar RP46,85 triliun atau sekitar setengah dari defisit tahun 2009 sebesar Rp88,62 triliun. Sebagaimana tercermin dari LKPP 2010, defisit anggaran negara yang menurun diimbangi dengan menurunnya pembiayaan. Pembiayaan pada tahun 2010 sebesar Rp91,55 triliun atau 81,32 persen dibandingkan pembiayaan pada tahun 2009 yang mencapai Rp112,58 triliun.
Pada neraca Pemerintah Pusat, total aset disajikan sebesar Rp2.423 triliun atau lebih naik sebesar Rp205,30 triliun dibandingkan total aset tahun 2009 sebesar Rp2.122,90 triliun. Kenaikan total aset tersebut terutama berasal dari kenaikan aset tetap yang mencapai 205,30 triliun dan dicatatnya aset lain-lain non tanah kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) yang sudah selesai diinventarisasi dan dinilai kemnali sebesar Rp54,44 triliun dari neraca.
Kendati demikian, BPK menyatakan dalam laporan keuangan di 2010, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih belum memberikan laporan keuangan dengan baik.
Menurut Hadi, kedua kementerian itu tidak memiliki laporan keuangan yang sesuai Standard Akuntansi Pemerintahan (SAP), penyajian pelaporan kurang lengkap, tidak patuh terhadap undang-undang, serta lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI).

Mafia Pajak
Selain Kemendiknas dan Kemenkes, Kementerian Keuangan menjadi salah satu lembaga yang perlu mendapat sorotan. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, Sonny Loho, mengatakan dalam Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) di 2010, Kemenkeu masih mendapatkan opini WDP. Menurutnya, ini disebabkan adanya piutang pajak yang cukup besar.
Dijelaskan Sonny, masalah piutang pajak susah diselesaikan karena menyangkut mafia pajak yang sulit diberantas. “Tidak mudah menyelesaiakannya. Apalagi, itu peninggalan sejarah,” ujarnya.
Namun, ia menyatakan pihaknya terus melakukan pembenahan dengan perbaikan administrasi, serta pembenahan dari sisi sumber daya manusia, sehingga tidak ada lagi aparat yang mau bekerjasama dengan penunggak. Kemenkeu sendiri menargetkan bisa memperoleh opini WTP dari BPK pada LKKL di 2011 mendatang.
Saat ini, kata Sonny, Ditjen Pajak masih melakukan penindakan bagi aparat yang terbukti bersalah. “Tapi jika belum bisa dibuktikan, maka pihak Kemenkeu melakukan mutasi untuk mencegah terjadinya kolusi dengan wajib pajak,” tuturnya. sumber: hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar