Peraturan Pemerintah (PP) No.101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan
Iuran (PBI) dan Peraturan Presiden (Perpres) No.12 Tahun 2013 Tentang
Jaminan Kesehatan (Jamkes), direvisi.
Serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)
dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mendesak agar pemerintah
merevisi Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes).
Kedua peraturan pelaksana BPJS Kesehatan itu dinilai bertentangan dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS.
Menurut anggota presidium MPBI, Said Iqbal, kedua peraturan pelaksana
itu ditengarai akan menghambat rakyat untuk mendapat hak pelayanan
Jamkes. Iqbal mencatat sedikitnya sembilan hal yang patut disorot dalam
peraturan pelaksana itu.
Pertama, pemerintah dinilai melanggar pasal 7 ayat (1) UU BPJS, karena
dalam Perpres Jamkes BPJS disebut sebagai badan hukum. Padahal UU BPJS
mengamanatkan BPJS sebagai badan hukum publik. Iqbal menilai pemerintah
mereduksi kedudukan hukum BPJS. Akibatnya, dalam PP PBI dan Perpres
Jamkes memerlukan banyak ketentuan yang mesti diatur dengan peraturan
atau keputusan Menteri.
Kedua, dalam PP PBI, Iqbal melihat orang tak mampu didefenisikan
sebagai orang yang mempunyai pekerjaan dan upahnya hanya mampu memenuhi
kebutuhan dasar yang layak tapi tak mampu membayar iuran BPJS bagi
dirinya dan keluarganya. Mengacu UU Ketenagakerjaan, menurut Iqbal,
orang tak mampu harus diartikan dengan orang yang punya pekerjaan dengan
penghasilan sama atau kurang dari ketentuan upah minimum yang berlaku
di wilayah setempat.
Ketiga, pemerintah dirasa mempersulit fakir miskin dan orang tak mampu
untuk mendapat hak atas Jamkes tanpa diskriminasi. Pasalnya, KAJS dan
MPBI melihat pemerintah membuat ketentuan untuk mendefinisikan fakir
miskin dan orang tak mampu. Padahal, UU SJSN tak mengamanatkan agar
pemerintah membuat ketentuan itu.
Menurut Iqbal upaya mempersulit rakyat untuk mendapat hak Jamkes itu
semakin kentara ketika Menteri Keuangan mengurangi jumlah penerima PBI
dari 96,4 juta orang menjadi 86,4 juta orang. Serta bantuan iuran yang
besarannya telah disepakati Rp22.100/orang/bulan berubah menjadi
Rp15ribu/orang/bulan. Menurutnya, penetapan kriteria dan pendataan fakir
miskin adalah tugas serta tanggungjawab pemerintah sebagaimana amanat
UU Fakir Miskin.
Keempat, Iqbal juga menyoroti masalah pentahapan kepesertaan
sebagaimana diatur dalam Perpres Jamkes. Menurutnya, UU SJSN dan UU BPJS
sudah sangat tegas menyatakan bahwa BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014
untuk memberikan pelayanan Jamkes bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, Iqbal menyayangkan Perpres Jamkes tak mengatur soal
penggabungan peserta Jamkesda dalam BPJS Kesehatan. Jika hal itu tak
dilakukan, Iqbal berpendapat pemerintah telah melanggar prinsip
portabilitas yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS. Bagi Iqbal, jika
peserta Jamkesda dialihkan menjadi peserta PBI, maka pemerintah dapat
meminta Pemda untuk mengalihkan dana Jamkesda itu menjadi dana untuk
memperbaiki atau menambah fasilitas BPJS Kesehatan sampai tingkat desa.
Keenam, Iqbal mencatat Perpres Jamkes tak mengatur iuran peserta BPJS
Jamkes. Padahal, ketentuan tentang iuran BPJS Jamkes adalah bagian yang
terintegrasi dengan pelayanan Jamkes yang diatur dalam bagian kedua
(Jamkes) dari Bab VI tentang Program Jaminan Sosial (Jamsos) dalam UU
BPJS.
Ketujuh, Perpres Jamkes mengatur tentang koordinasi manfaat antara BPJS
Kesehatan dengan penyelenggaraan program asuransi tambahan. Padahal,
Iqbal melanjutkan, ketentuan itu tidak diperintahkan oleh UU SJSN.
Dengan adanya ketentuan tersebut, Iqbal memperkirakan peluang BPJS untuk
tak fokus dalam menjalankan kewajibannya melayani seluruh peserta BPJS
akan terbuka.
Kedelapan, PP PBI tak mengatur kewajiban Menteri Keuangan untuk
membayar iuran peserta PBI kepada BPJS secara rutin tiap bulan. Dengan
tak diaturnya ketentuan itu, Iqbal khawatir pelaksanaan BPJS Kesehatan
akan mengalami gangguan. Pasalnya, tak menutup kemungkinan dalam
perjalanannya nanti Menteri Keuangan telat menunaikan kewajibannya
membayar iuran PBI kepada BPJS.
Kesembilan, Iqbal mengingatkan bahwa sistem jaminan sosial nasional
yang akan diselenggarakan didasarkan pada prinsip dana amanat. Yaitu
iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta
untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan
sosial.
Oleh karenanya, Iqbal menekankan agar pemerintah tak mengatur adanya
sisa anggaran atau SILPA dalam membayar iuran untuk peserta PBI. Bagi
Iqbal hal itu mengacu pasal 4 huruf h UU BPJS vide pasal 4 huruf h UU
SJSN.
Melihat terdapat sejumlah persoalan dalam PP PBI dan Perpres Jamkes,
Iqbal mendesak agar pemerintah merevisi kedua peraturan itu. Serta
mendesak DPR untuk melakukan rapat gabungan dengan pemerintah guna
membahas revisi isi PP PBI dan Perpres Jamkes. Selain itu menuntut
Komisi IX DPR untuk menaikkan jumlah iuran PBI dalam rancangan APBN
2014. “Mendesak Presiden untuk segera merevisi PP PBI dan Perpres
Jamkes,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/2).
Iqbal mengaku KAJS dan MPBI sudah menyampaikan persoalan yang ada
terkait peraturan pelaksana BPJS kepada DPR. Dia mengatakan DPR berjanji
untuk membantu serikat pekerja mendesak pemerintah membenahi masalah
yang ada dalam peraturan pelaksana itu.
Terpisah, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali
Situmorang, mengatakan tak mungkin sebuah Perpres dibentuk di bawah
ketentuan yang diperintahkan UU. Sekalipun ada yang kurang seperti
penjelasan badan hukum BPJS sebagaimana dalam Perpres Jamkes, Chazali
mengatakan hal itu hanya kesalahan dalam pengetikan. Sehingga ada kata
yang tak tercantum. Dia berjanji dalam waktu dekat ini akan menyurati
Setkab untuk membenahi Perpres Jamkes. “Agar diubah, badan hukum yang
dimaksud itu badan hukum publik,” katanya kepada hukumonline lewat telpon, Senin (25/2).
Chazali sendiri mengatakan revisi kedua peraturan itu adalah kewenangan
Presiden. Namun, Chazali mengingatkan, terkait iuran dan jangka waktu
bagi Menkeu untuk membayar iuran nanti akan diterbitkan lewat Perpres
yang khusus mengatur soal iuran.
Tak ketinggalan, Chazali juga mengingatkan bahwa mekanisme pembayaran
rutin yang dilakukan Menteri Keuangan untuk membiayai tanggungan PBI
akan mengikuti sistem yang sudah berlaku selama ini dalam menetapkan
mata anggaran dalam APBN. Selain itu, BPJS akan melakukan tagihan secara
rutin kepada Menteri Keuangan untuk membayar iuran PBI. sumber:hukumonline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar