Serikat Karyawan Taspen "Mengawal Perusahaan, Mengayomi Karyawan"

Senin, 25 Februari 2013

Serikat Pekerja Mendesak Peraturan Pelaksana BPJS Direvisi

Peraturan Pemerintah (PP) No.101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peraturan Presiden (Perpres) No.12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes), direvisi.
Serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mendesak agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes).

Kedua peraturan pelaksana BPJS Kesehatan itu dinilai bertentangan dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Menurut anggota presidium MPBI, Said Iqbal, kedua peraturan pelaksana itu ditengarai akan menghambat rakyat untuk mendapat hak pelayanan Jamkes. Iqbal mencatat sedikitnya sembilan hal yang patut disorot dalam peraturan pelaksana itu.
Pertama, pemerintah dinilai melanggar pasal 7 ayat (1) UU BPJS, karena dalam Perpres Jamkes BPJS disebut sebagai badan hukum. Padahal UU BPJS mengamanatkan BPJS sebagai badan hukum publik. Iqbal menilai pemerintah mereduksi kedudukan hukum BPJS. Akibatnya, dalam PP PBI dan Perpres Jamkes memerlukan banyak ketentuan yang mesti diatur dengan peraturan atau keputusan Menteri.
Kedua, dalam PP PBI, Iqbal melihat orang tak mampu didefenisikan sebagai orang yang mempunyai pekerjaan dan upahnya hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak tapi tak mampu membayar iuran BPJS bagi dirinya dan keluarganya. Mengacu UU Ketenagakerjaan, menurut Iqbal, orang tak mampu harus diartikan dengan orang yang punya pekerjaan dengan penghasilan sama atau kurang dari ketentuan upah minimum yang berlaku di wilayah setempat.
Ketiga, pemerintah dirasa mempersulit fakir miskin dan orang tak mampu untuk mendapat hak atas Jamkes tanpa diskriminasi. Pasalnya, KAJS dan MPBI melihat pemerintah membuat ketentuan untuk mendefinisikan fakir miskin dan orang tak mampu. Padahal, UU SJSN tak mengamanatkan agar pemerintah membuat ketentuan itu.
Menurut Iqbal upaya mempersulit rakyat untuk mendapat hak Jamkes itu semakin kentara ketika Menteri Keuangan mengurangi jumlah penerima PBI dari 96,4 juta orang menjadi 86,4 juta orang. Serta bantuan iuran yang besarannya telah disepakati Rp22.100/orang/bulan berubah menjadi Rp15ribu/orang/bulan. Menurutnya, penetapan kriteria dan pendataan fakir miskin adalah tugas serta tanggungjawab pemerintah sebagaimana amanat UU Fakir Miskin.
Keempat, Iqbal juga menyoroti masalah pentahapan kepesertaan sebagaimana diatur dalam Perpres Jamkes. Menurutnya, UU SJSN dan UU BPJS sudah sangat tegas menyatakan bahwa BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 untuk memberikan pelayanan Jamkes bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima, Iqbal menyayangkan Perpres Jamkes tak mengatur soal penggabungan peserta Jamkesda dalam BPJS Kesehatan. Jika hal itu tak dilakukan, Iqbal berpendapat pemerintah telah melanggar prinsip portabilitas yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS. Bagi Iqbal, jika peserta Jamkesda dialihkan menjadi peserta PBI, maka pemerintah dapat meminta Pemda untuk mengalihkan dana Jamkesda itu menjadi dana untuk memperbaiki atau menambah fasilitas BPJS Kesehatan sampai tingkat desa.
Keenam, Iqbal mencatat Perpres Jamkes tak mengatur iuran peserta BPJS Jamkes. Padahal, ketentuan tentang iuran BPJS Jamkes adalah bagian yang terintegrasi dengan pelayanan Jamkes yang diatur dalam bagian kedua (Jamkes) dari Bab VI tentang Program Jaminan Sosial (Jamsos) dalam UU BPJS.
Ketujuh, Perpres Jamkes mengatur tentang koordinasi manfaat antara BPJS Kesehatan dengan penyelenggaraan program asuransi tambahan. Padahal, Iqbal melanjutkan, ketentuan itu tidak diperintahkan oleh UU SJSN. Dengan adanya ketentuan tersebut, Iqbal memperkirakan peluang BPJS untuk tak fokus dalam menjalankan kewajibannya melayani seluruh peserta BPJS akan terbuka.
Kedelapan, PP PBI tak mengatur kewajiban Menteri Keuangan untuk membayar iuran peserta PBI kepada BPJS secara rutin tiap bulan. Dengan tak diaturnya ketentuan itu, Iqbal khawatir pelaksanaan BPJS Kesehatan akan mengalami gangguan. Pasalnya, tak menutup kemungkinan dalam perjalanannya nanti Menteri Keuangan telat menunaikan kewajibannya membayar iuran PBI kepada BPJS.
Kesembilan, Iqbal mengingatkan bahwa sistem jaminan sosial nasional yang akan diselenggarakan didasarkan pada prinsip dana amanat. Yaitu iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.
Oleh karenanya, Iqbal menekankan agar pemerintah tak mengatur adanya sisa anggaran atau SILPA dalam membayar iuran untuk peserta PBI. Bagi Iqbal hal itu mengacu pasal 4 huruf h UU BPJS vide pasal 4 huruf h UU SJSN.
Melihat terdapat sejumlah persoalan dalam PP PBI dan Perpres Jamkes, Iqbal mendesak  agar pemerintah merevisi kedua peraturan itu. Serta mendesak DPR untuk melakukan rapat gabungan dengan pemerintah guna membahas revisi isi PP PBI dan Perpres Jamkes. Selain itu menuntut Komisi IX DPR untuk menaikkan jumlah iuran PBI dalam rancangan APBN 2014. “Mendesak Presiden untuk segera merevisi PP PBI dan Perpres Jamkes,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/2).
Iqbal mengaku KAJS dan MPBI sudah menyampaikan persoalan yang ada terkait peraturan pelaksana BPJS kepada DPR. Dia mengatakan DPR berjanji untuk membantu serikat pekerja mendesak pemerintah membenahi masalah yang ada dalam peraturan pelaksana itu.
Terpisah, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali Situmorang, mengatakan tak mungkin sebuah Perpres dibentuk di bawah ketentuan yang diperintahkan UU. Sekalipun ada yang kurang seperti penjelasan badan hukum BPJS sebagaimana dalam Perpres Jamkes, Chazali mengatakan hal itu hanya kesalahan dalam pengetikan. Sehingga ada kata yang tak tercantum. Dia berjanji dalam waktu dekat ini akan menyurati Setkab untuk membenahi Perpres Jamkes. “Agar diubah, badan hukum yang dimaksud itu badan hukum publik,” katanya kepada hukumonline lewat telpon, Senin (25/2).
Chazali sendiri mengatakan revisi kedua peraturan itu adalah kewenangan Presiden. Namun, Chazali mengingatkan, terkait iuran dan jangka waktu bagi Menkeu untuk membayar iuran nanti akan diterbitkan lewat Perpres yang khusus mengatur soal iuran.
Tak ketinggalan, Chazali juga mengingatkan bahwa mekanisme pembayaran rutin yang dilakukan Menteri Keuangan untuk membiayai tanggungan PBI akan mengikuti sistem yang sudah berlaku selama ini dalam menetapkan mata anggaran dalam APBN. Selain itu, BPJS akan melakukan tagihan secara rutin kepada Menteri Keuangan untuk membayar iuran PBI. sumber:hukumonline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar