Sejumlah anggota Komisi IX DPR mengimbau agar serikat pekerja mengawal
proses pemanggilan paksa Menteri BUMN, Dahlan Iskan, untuk hadir ke
Komisi IX DPR membahas penyelesaian masalah ketenagakerjaan di
perusahaan BUMN.
Ketua Komisi IX dari fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning mengatakan Komisi
sudah berupaya mengundang Menteri BUMN untuk membahas persoalan
tersebut. Ironisnya, sudah tiga kali undangan itu dilayangkan, tak
sekalipun Menteri BUMN menginjakkan kaki ke ruang sidang Komisi di DPR.
Ribka berpendapat DPR berhak melakukan pemanggilan paksa.
Ketidakhadiran Dahlan itu membuat kesal anggota Komisi IX DPR. Untuk
itu di tengah ratusan pekerja BUMN yang menggelar demonstrasi di depan
gedung DPR pada Selasa (5/3), Ribka meminta agar serikat pekerja
mengawal proses pemanggilan paksa itu.
Rencananya, upaya tersebut akan dilakukan pada Kamis (14/3). Ribka
menjelaskan, DPR akan meminta Kapolri untuk memanggil paksa Menteri BUMN
ke DPR, seiring polisi menjemput Menteri yang bersangkutan, Ribka
berharap serikat pekerja ikut dalam proses itu.
Pasalnya, Ribka khawatir pemanggilan paksa itu tak berhasil karena
kemungkinan aparat kepolisian tak berdaya. “Kalau tidak dikawal nanti
polisinya 'masuk angin' (berkolusi,-red),” kata dia ketika berorasi di
tengah ratusan massa aksi, Selasa (5/3).
Tak hanya itu, Ribka mengatakan Komisi IX sepakat untuk menghimpun 20
tanda tangan anggota DPR untuk mengajukan hak interpelasi. Dengan
menggunakan hak itu, Ribka berharap Menteri BUMN dijatuhkan sanksi
tegas. Baginya, langkah itu perlu dilakukan karena Menteri BUMN dinilai
tak serius menuntaskan masalah ketenagakerjaan yang menyelimuti
perusahaan BUMN.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi IX dari fraksi PKS, Arief
Minardi, teknisnya nanti, Komisi IX akan mengirim surat ke Ketua DPR
agar Dahlan Iskan dipanggil paksa. Kemudian, Ketua DPR melayangkan surat
kepada Kapolri dan aparat kepolisian bergerak untuk menjemput Dahlan
Iskan. Ketika penjemputan itulah menurut Arief butuh pengawalan dari
serikat pekerja. Pasalnya, sebagaimana yang disebut Ribka, Arief cemas
proses itu akan gagal. “Kumpulkan satu juta pekerja untuk mengawal
penjemputan paksa itu,” tegasnya dari atas mobil komando yang
dikelilingi massa aksi.
Ketika pemanggilan paksa berhasil dilakukan, mantan ketua serikat
pekerja PT Dirgantara Indonesia -salah satu perusahaan BUMN- itu
melanjutkan, Menteri BUMN bisa disandera 15 hari. Mengacu peraturan
perundang-undangan yang ada dalam masa penyanderaan itu, Menteri BUMN
akan dipaksa untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan di perusahaan
BUMN. Baginya tak ada alasan perusahaan BUMN tak sanggup memenuhi hak
pekerja. Dia mencatat keuntungan perusahaan BUMN per tahun mencapai
puluhan triliun rupiah.
Sementara menurut Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
(KASBI), Nining Elitos, mengakui tak sedikit anggotanya yang menjadi
korban pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dilakukan manajemen di
perusahaan BUMN. Misalnya, di PT Petrokimia Gresik, pekerja outsourcing
bekerja di jenis kegiatan inti.
Padahal, mengacu UU Ketenagakerjaan,
pekerjaan outsourcing hanya dibolehkan untuk jenis kegiatan penunjang
dan sifatnya sementara. Belum lagi soal diskriminasi antara pekerja
outsourcing dan tetap. Seperti soal peralatan keamanan dalam bekerja,
pekerja outsourcing mendapat alat-alat keamanan kerja yang kualitasnya
lebih rendah. Hal serupa juga terjadi pada hak lainnya seperti upah.
Begitu pula dengan nasib pekerja outsourcing di PT Pertamina, hampir
setiap unit produksi dikerjakan oleh pekerja outsourcing. Walau jenis
pekerjaan yang dilakukan antara pekerja outsourcing dan tetap itu sama,
tapi upah, peralatan keselamatan yang digunakan untuk bekerja, sangat
berbeda. Nining mengatakan diskriminasi itu melanggar pasal 5 dan 6 UU
Ketenagakerjaan.
Nining menjelaskan, dalam menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan yang
dihadapi, KASBI selalu mengutamakan proses dialogis. Misalnya, kasus
ketenagakerjaan di PT Pertamina, dengan dimediasi oleh Kemenakertrans,
dilakukan perundingan pada 18 Juli 2012. Hasilnya, ada 10 poin
kesepakatan yang ditandatangani serikat pekerja, manajemen Pertamina dan
disaksikan pihak Kemenakertrans.
Alih-alih menjalankan kesepakatan itu, Pertamina malah mengajukan
gugatan pembatalan kesepakatan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta
Timur. “Hal ini menunjukan kurangnya iktikad baik pihak Pertamina dalam
menyelesaikan persoalan,” urainya.
Sementara, Sekjen DPP Aspek Indonesia yang juga anggota Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Sabda Pranawa Djati, mengatakan hal
serupa juga menimpa Serikat Pekerja PT Graha Sarana Duta (Sejagad).
Menurutnya, pengurus dan anggota serikat pekerja yang tergabung dalam
Aspek Indonesia itu dilanggar hak-hak normatifnya oleh anak perusahaan
PT Telkom yaitu PT Graha Sarana Duta (GSD).
Sabda menjelaskan, PT GSD mempekerjakan pekerja outsourcing untuk
ditempatkan di salah satu perusahaan BUMN yaitu PT Telkom. Jenis
pekerjaan yang diselenggarakan PT GSD di antaranya sekuriti dan jasa
kebersihan. Namun, pekerjaan yang diselenggarakan itu dilakukan dengan
melanggar hukum. Misalnya, seorang sekuriti, bekerja selama 18 tahun
dengan status outsourcing, upah di bawah upah minimum, upah lemburnya
dibayar tak sesuai aturan, pemberangusan serikat pekerja dan pemotongan
upah serta pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Menurutnya hal itu
dialami oleh ratusan anggota Sejagad.
Di hari yang sama, usai mengikuti rapat dengan Komisi IX, Dirjen PHI
dan Jamsos Kemenakertrans, Ruslan Irianto Simbolon, mengatakan
Kemenakertrans sudah berupaya maksimal menuntaskan masalah
ketenagakerjaan di perusahaan BUMN. Misalnya dengan menerbitkan
rekomendasi atau melakukan mediasi.
Dia berpendapat yang dibutuhkan saat ini adalah iktikad baik dari
perusahaan BUMN dan Kementerian BUMN untuk melaksanakan apa yang telah
disepakati dengan pekerja. “Pekerja tidak usah khawatir, Menakertrans
terus mengawal sampai penyelesaian itu terealisasi,” pungkasnya. sumber:hukumonline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar