Serikat Karyawan Taspen "Mengawal Perusahaan, Mengayomi Karyawan"

Rabu, 10 April 2013

Pengawasan Ketenagakerjaan Diusulkan Kembali Terpusat

Menakertrans Muhaimin Iskandar berharap pelaksanaan tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan dikembalikan dalam suatu sistem sentralistik. Tujuannya untuk mengoptimalkan seluruh aspek pengawasan di bidang ketenagakerjaan yang selama ini terkendala oleh adanya sekat kebijakan otonomi daerah. Dengan sistem yang sentralistik diharapkan pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan menjadi lebih independen, terpadu, terkoordinasi serta terintegrasi.
Untuk mewujudkan usulannya itu Muhaimin mengatakan sudah melakukan pembahasan dengan beberapa kementerian terkait. Seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.“Sistem sentralistik akan menciptakan sinergisitas kinerja pengawasan ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah yang lebih efektif dan optimal,” kata dia di kantor Kemenakertrans Jakarta, Selasa (9/4).
Muhaimin menilai pengawasan di tingkat daerah tergolong lemah. Apalagi, kuantitas dan kualitas petugas pengawas ketenagakerjaan di daerah tak menyebar secara merata dan punya keterbatasan. Padahal, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan diserahkan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
Sayangnya, dari pantauan selama ini Muhaimin menilai belum semua daerah mampu melaksanakan urusan wajib ketenagakerjaan itu secara optimal. Hal itu dapat terlihat salah satunya dari pelaksanaan kegiatan pengawasan yang belum mampu mencapai standar pelayanan minimal (SPM). Muhaimin menegaskan, pengawas ketenagakerjaan merupakan perangkat terpenting untuk memastikan pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan dengan baik sesuai aturan yang ada. Seperti hubungan industrial, pelaksanaan outsourcing, upah minimum, kondisi kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta jaminan sosial.
Muhaimin menjelaskan selama ini pengawas ketenagakerjaan yang diangkat oleh pemerintah pusat berstatus PNS daerah. Namun dalam operasional berada di bawah kendali Bupati/Walikota. Kondisi itu menyebabkan penegakan hukum ketenagakerjaan tak independen. Kendala lainnya yang kerap dijumpai seperti jenjang karir petugas pengawas ketenagakerjaan karena sedikit daerah yang menempatkan pengawas dalam jabatan fungsional. Akibatnya, potensi dipindahtugaskan atau beralih fungsi cukup besar.
Kemenakertrans mencatat jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini sebanyak 2.384 orang dan menangani sekitar 216.547 perusahaan. Para pengawas ketenagakerjaan itu terdiri dari pengawas umum sejumlah 1.460 orang, pengawas spesialis 361 orang dan penyidik pegawai negeri sipil 563 orang. Sedangkan sebaran pengawas ketenagakerjaan baru menjangkau sekitar 300 dari 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Padahal idealnya seorang pengawas mengawasi 60 perusahaan tiap tahun. Untuk memenuhi kondisi ideal itu masih dibutuhkan 3.700 pegawai fungsional pengawas ketenagakerjaan. Untuk meningkatkan kualitas pengawas, tahun 2012 Kemenakertrans telah melakukan pendidikan dan pelatihan kepada 109 orang pengawas ketenagakerjaan.
Dalam rangka membenahi masalah pengawas ketenagakerjaan di tengah sistem otonomi daerah itu Muhaimin mengatakan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan. Dalam peraturan itu, pengawas di dinas tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan pengawasan ke pemerintah pusat. Muhaimin mengatakan peraturan itu diharapkan dapat memperbaiki sinergi pemerintah pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan.
Untuk meningkatkan pengawas ketenagakerjaan, dengan menerbitkan Permenakertrans No.10 Tahun 2012 telah dibentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Komite yang mendorong fungsi pengawasan itu terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja. Komite juga berperan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada Menteri atas pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar menuturkan, ide mengembalikan kewenangan pengawasan ke tingkat pusat adalah tuntutan serikat pekerja yang telah lama disuarakan. Menurutnya, selama ini otonomi daerah memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk menempatkan dan memutasi pengawas ketenagakerjaan ke bagian lain di luar pengawasan. Seperti dimutasi ke dinas sosial, kependudukan dan sebagainya.
Selain itu, Timboel berpendapat kepentingan memprioritaskan PAD (Pendapatan Asli Daerah) membuat para kepala daerah lebih mementingkan eksistensi perusahaan di daerahnya daripada menegakkan hukum ketenagakerjaan. Akibatnya, pengawas ketenagakerjaan dikondisikan hanya pasif dan sekedarnya dalam menjalankan fungsinya di bidang pengawasan. Timboel berharap Muhaimin serius merealisasikannya.
Selaras dengan itu Timboel melihat beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengawas ketenagakerjaan dapat direvisi. Misalnya, merevisi PP No.38 Tahun 2007 agar pembinaan, pengawasan dan pertanggungjawaban pengawas langsung kepada Menakertrans. Jika laporan itu hanya sampai ke tingkat kepala daerah, Timboel ragu penegakan hukum ketenagakerjaan dan pengawasan tak berjalan baik. “Penempatan pengawas adalah tanggungjawab Kemenakertrans sehingga tidak asal-asalan lagi,” katanya kepada hukumonline lewat pesan elektronik, Rabu (10/4).
Jika Muhaimin serius memperkuat pengawas ketenagakerjaan, Timboel berpendapat meningkatkan anggaran untuk bidang pengawasaan menjadi bagian yang patut dilakukan. Menurutnya, anggaran itu dapat diambil dari APBN. Ketika hal itu sudah dilakukan maka wilayah Kabupaten/Kota yang belum punya pengawas, perlu diprioritaskan.
Timboel berpendapat di setiap daerah di Indonesia pasti terdapat perusahaan yang mempekerjakan pekerja formal. Oleh karenanya, Timboel mengangap tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menempatkan pengawas ke seluruh wilayah di Indonesia. “Idealnya setiap tahun Kemenakertrans harus mampu menciptakan minimal 200 PPNS yang tersebar diseluruh provinsi dan Kabupaten/Kota,” urainya.
Selain itu menyasar APBN, Timboel menyebut APBD juga harus mengalokasikan anggaran untuk memperkuat pengawas ketenagakerjaan. Pasalnya, dari pantauannya selama ini ketika melaporkan masalah ketenagakerjaan ke dinas-dinas, Timboel mengatakan petugas pengawas kerap mengeluh tak punya dana operasional. “Laporan-laporan yang OPSI laporkan sangat lama di follow up, sehingga beberapa kali pengawas ketenagakerjaan yang lambat tersebut kami laporkan ke Ombudsman,” ucapnya.
Sementara, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Hang Ali Saputra Syah Pahan, mengatakan pengawas ketenagakerjaan yang berlangsung selama ini lemah. Akibatnya, marak terjadi penyelundupan hukum ketenagakerjaan. “Dari zaman nabi Adam kekurangan pengawas. Hal itu tidak akan terpenuhi jika kebijakan pemerintah tidak berubah,” selorohnya dalam rapat antara Komisi IX dengan Menakertrans dan Menteri BUMN, Dahlan Iskan di DPR, Rabu (10/4). sumber:hukumonline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar