Sembilan pegawai PT Pertamina yang tergabung dalam Serikat Pekerja
Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) mengajukan uji materi Pasal 95 ayat
(4) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terkait kondisi perusahaan pailit. Mereka
adalah Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, Eiman, Robby
Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J
Wauran, dan Maison Des Arnoldi.
Para pemohon potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan. Sebab bisa saja, suatu saat Pertamina mengalami pailit.
“Ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum akibat tidak adanya
penafsiran yang tegas,” kata salah seorang kuasa hukum pemohon, Janses E
Sihaloho dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta,
Selasa (16/7).
Pasal 95 ayat (4) berbunyi, “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit
atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang
didahulukan pembayarannya.”
Janses mengatakan akibat tidak adanya penafsiran tegas dalam Pasal 95
ayat (4) itu menimbulkan pengingkaran atau pelanggaran atas hak-hak para
pekerja di perusahaaan tempat mereka bekerja yang tengah mengalami
pailit berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam praktik, penyelesaian utang perusahaan yang dipailitkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat urutan
peringkat penyelesaian tagihan kreditor. Pemenuhan hak-hak buruh/pekerja
harus menunggu tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang
dibentuk pemerintah terlebih dahulu.
“Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak
ada penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausul ‘didahulukan
pembayarannya’,” kata Janses.
Menurut dia sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” telah
nyata-nyata menimbulkan multi tafsir. Akibatnya, pekerja/buruh
ditempatkan dalam posisi yang lemah dan tidak disejajarkan dengan para
kreditor separatis lainnya yang praktiknya lebih didahulukan
pembayarannya jika suatu perusahaan dipailitkan.
Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan konstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan pelunasannya
mendahului semua jenis kreditor baik kreditor separatis (istimewa),
kreditor preference, pemegang hak tanggungan, gadai, hipotik, dan
kreditor bersaing (konkuren).
Menanggapi permohonan, Ahmad Sodiki selaku ketua majelis panel meminta
pemohon membaca putusan MK No. 18/PUU/2008 terlebih dahulu. “Tolong
dibaca putusan MK itu, karena ada mengenai Pasal 95 itu. Mungkin ada
hal yang bisa Saudara ambil sebagai bahan pengujian pasal itu,”
sarannya.
Hakim anggota, Harjono mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing)
pemohon. Sebab, tidak semua orang atau badan hukum memiliki legal
standing untuk mengajukan pengujian undang-undang. “Tidak semua orang
memiliki legal standing, soalnya ada kriterianya. Coba cari dulu kriterianya, apakah Saudara sudah memenuhi kriteria itu atau belum," katanya.
Hakim anggota lainnya, Anwar Usman juga mempertanyakan letak tidak
konstitusionalnya norma yang diuji, dan bukan praktiknya. Apalagi
pemohon menyandingakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dengan
undang-undang lain, bukan dengan UUD 1945. “Fokuskan norma ini
bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian legal standing, apakah pemohon selaku perseorangan atau badan hukum, ini perlu diperjelas,” sarannya. sumber:hukumonline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar