Serikat Karyawan Taspen "Mengawal Perusahaan, Mengayomi Karyawan"

Selasa, 16 Juli 2013

Karyawan Pertamina Gugat UU Ketenagakerjaa

Sembilan pegawai PT Pertamina yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) mengajukan uji materi Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait kondisi perusahaan pailit. Mereka adalah Otto Geo Diwara Purba, Syamsul Bahri Hasibuan, Eiman, Robby Prijatmodjo, Macky Ricky Avianto, Yuli Santoso, Joni Nazarudin, Piere J Wauran, dan Maison Des Arnoldi. 

Para pemohon potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Sebab bisa saja, suatu saat Pertamina mengalami pailit. “Ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum akibat tidak adanya penafsiran yang tegas,” kata salah seorang kuasa hukum pemohon, Janses E Sihaloho dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/7).
Pasal 95 ayat (4) berbunyi, “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”
Janses mengatakan akibat tidak adanya penafsiran tegas dalam Pasal 95 ayat (4) itu menimbulkan pengingkaran atau pelanggaran atas hak-hak para pekerja di perusahaaan tempat mereka bekerja yang tengah mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam praktik, penyelesaian utang perusahaan yang dipailitkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat urutan peringkat penyelesaian tagihan kreditor. Pemenuhan hak-hak buruh/pekerja harus menunggu tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah terlebih dahulu.
“Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausul ‘didahulukan pembayarannya’,” kata Janses.
Menurut dia sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” telah nyata-nyata menimbulkan multi tafsir. Akibatnya, pekerja/buruh ditempatkan dalam  posisi yang lemah dan tidak disejajarkan dengan para kreditor separatis lainnya yang praktiknya lebih didahulukan pembayarannya jika suatu perusahaan dipailitkan.
Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan konstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “didahulukan pembayarannya” ditafsirkan pelunasannya mendahului semua jenis kreditor baik kreditor separatis (istimewa), kreditor preference, pemegang hak tanggungan, gadai, hipotik, dan kreditor bersaing (konkuren).
Menanggapi permohonan, Ahmad Sodiki selaku ketua majelis panel meminta pemohon membaca putusan MK No. 18/PUU/2008 terlebih dahulu. “Tolong dibaca putusan MK  itu, karena ada mengenai Pasal 95 itu. Mungkin ada hal yang bisa Saudara ambil sebagai bahan pengujian pasal itu,” sarannya.
Hakim anggota, Harjono mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Sebab, tidak semua orang atau badan hukum memiliki legal standing untuk mengajukan pengujian undang-undang. “Tidak semua orang memiliki legal standing, soalnya ada kriterianya. Coba cari dulu kriterianya, apakah Saudara sudah memenuhi kriteria itu atau belum," katanya.
Hakim anggota lainnya, Anwar Usman juga mempertanyakan letak tidak konstitusionalnya norma yang diuji, dan bukan praktiknya. Apalagi pemohon menyandingakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dengan undang-undang lain, bukan dengan UUD 1945. “Fokuskan norma ini bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian legal standing, apakah pemohon selaku perseorangan atau badan hukum, ini perlu diperjelas,” sarannya. sumber:hukumonline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar